Bicara soal hati di dunia remaja memang bukan perkara mudah untuk mencari penyelesaiannya, selain karena tingkat berfikirnya masih labil, kesadaran terhadap dirinya juga masih belum jelas dan mudah berubah-ubah. Untuk itu disarankan agar memilih cara yang lebih bijak serta mampu meningkatkan kekokohan mental dan pola fikirnya, sehingga apa yang menjadi persoalan dalam dirinya saat itu bisa diatasi tanpa melibatkan banyak orang.
Cara bijak dimaksud salah satunya menumbuhkan kebiasaan membaca sejak dini dan atau membiasakan menuliskan setiap persoalan lahir mau pun persoalan batin yang seringkali mendominasi aktifitas keseharian ke catatan harian sebagai media curhat yang bernilai dan bermanfaat.
Soalnya tidak sedikit di dunia ini orang-orang besar yang pemikiran-pemikirannya tersimpan di catatan harian (diary), seperti Madame Curie, fisikawan penemu zat radioaktif radium dan polonium asal Sklodowska itu, atau di Indonesia seperti Andera Hirata yang terangkat lewat buku Laskar Pelanginya.
Memang Diary identik dengan perempuan, sebagai teman bayangan dengan ceritanya yang selalu mengasyikkan. Sebagai sesuatu yang penting dalam menggiring perkembangan psikologis remaja, yang bisa membantu untuk berpikir dan berkembang.
Beberapa tahun selang catatan harian ini ketika dibaca lagi, disitu dia bisa menjadi guru yang mampu memberikan palajaran terbaiknya dengan cara introspeksi. Tapi kali ini kita diajak Pratiwi Diranti, siswa SMAN 8 Pekanbaru lewat puisinya Cerita Hampa.
Dalam puisinya Diranti memaparkan kegelisahan mengenai dirinya yang tidak tampak persoalan apa yang dia alami sebenarnya. Sampai-sampai dia mendekati putus asa, aku menangis meminta kepada Tuhan, haruskah kutinggalkan bumi ini.
Lalu aku pun bertanya pada langit
dimanakah suasana hatiku
yang kemarin menghilang
aku menangis meminta ke hadapan Tuhan
haruskah ku tinggalkan bumi ini
Meski secara teori penulisan puisi apa yang dituliskan Diranti belum sampai pada hasil yang memuaskan, tapi secara psikologis paling tidak Diranti telah mampu mengarahkan kegelisahan jiwanya dalam bentuk karya yang kemudian bermanfaat bagi orang lain.
Diranti kini telah punya teman baru tempat dia curhat, yakni diary: Aku termenung, di pinggiran ruang-ruang mimpi, ingin kusampaikan cerita ini padamu kawan, cerita hampa tentang kesedihan hatiku, Tatkala ku tanyakan pada bintang, bagaimana nasibku kala ini, bintang hanya terdiam membisu, dia tak mampu membebaskan kehampaanku, Ketika, kutanyakan pada mentari, ia hanya mengeluarkan sinarnya, dan seolah menunjukkan, dialah sang penguasa jagat raya.
Ratusan Penyair dari berbagai kota Indonesia, Jum’at (7/1) memadati halaman depan Gedung Agung Yogyakarta, kehadiran mereka atas undangan Paguyuban Sastrawan Mataram. Sebagai dukungan moril terhadap ketetapan ke Istimewaan Yogyakarta, dan pemerintah tidak lagi mempertanyakan ke istimewaannya dalam konteks politik yang hanya akan melahirkan keresahan di masyarakat Yogya.
Sigit Sugito koordinator kegiatan Seratus Penyair Membaca Jogja ini menuturkan, kalau acara tersebut sengaja dikemas sebagai upaya perenungan membaca Jogja masa lalu, masa kini dan masa yang akan datang.
Sementara pada siang harinya bertempat di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), berlangsung Diskusi dan Pemaparan Akademik tentang Keistimewaan Yogyakarta bertema “Mendengar Suara Yogya”. Dengan pembicara GBPH Prabukusumo, KPH Tjondrokusumo (Puro Pakualaman), Wakil Ketua Komisi II DPR RI, Ganjar Pranowo serta tim peneliti Fisipol UMY seperti Ahmad Nurmandi (Dekan Fisipol UMY), Tunjung Sulaksono dan Priyo Purnomo, yang keduanya pengajar Ilmu Pemerintahan di UMY.
Pada kesempatan itu Ganjar Pranowo mengtakan agar sebaiknya pemerintah berfikir lagi dalam menyikapi keistimewaan Yogyakarta, mengenai mekanisme pengisian jabatan gubernur. “Sebab selama ini saya selalu menyarankan supaya pemerintah tidak mengambil resiko politik yang lebih besar lagi. Istilahnya kalau gak gatel jangan digaruk, sebab kalau sampe lecet akan lebih berbahaya,” ujarnya. (*)
Baca Puisi Semalam Suntuk
Panggung terbuka sederhana yang digawe tim Paguyuban Sastrawan Mataram di halaman Gedung Agung di jalan Malioboro, sejak sore sudah dipadati pengunjung baik masyarakat Yogya maupun wisatawan domestik dan mancanegara yang berlibur di kota itu.
Para penyair seperti, Adri Darmaji Woko (Jakarta), Aant S Kawisar , Asdar Muis RMS (Makasar), Arieyoko (Bojonegoro), Acep Syahril (Indramayu), Heru Emka (Semarang), Haryono Soekiran (Purbalingga), Ismet MN Haries, Teguh Ranu Sastra Asmara, Sri Harjanto Sahid, Suminta A Sayuti, Agnes Yani Sardjono (Yogyakarta), Boedi Ismanto (Tegal) serta sejumlah penyair Indonesia lainnya. Yang pernah belajar dan lebur di kancah kepenyairan Jogjakarta ini, memanfaatkan event tersebut sebagai ajang kangen-kangenan mereka. Dan tidak hanya di lesehan pelataran panggung tapi juga di mimbar pembacaan puisi, dengan meneriakkan karya-karya mereka tentang Jogja yang pernah membesarkan mereka, seperti Asdar Muis misalnya.
“Kehadiran saya pada kegiatan ini lebih pada kedekatan emosional terhadap Jogja, sebab kota ini dengan keberadaannya yang dulu dan sekarang memiliki arti penting bagi masyarakatnya,” ujar pekerja buku sastra dan seni pertunjukan Makasar itu.
Dan penampilan Asdar Muis RM dengan puisinya bertajuk Tangis Jogja Di Makasar, ditingkahi musik khas Pui-pui dan lagu Cincim Bancak yang diiringi beberapa seniman Makasar lainnya sempat menghentikan para pejalan kaki yang hendak menuju kekeramaian Malioboro. Sebab yang menarik di sini bukan hanya isi puisinya yang syarat sindiran serta hentakan-hentakan tajam terhadap pemerintah pusat, tapi juga musiknya yang khas dan menarik itu.
Seperti Asdar, penyair Jepara Asyari Mohammad itu juga mengkolaborasikan permainan biolanya dengan puisi. Disusul eksplorasi spontan Udik Supriyanta yang mengusung puisi bersama racikan musik dangdut dari kelompok pengungsi Merapi. Dan tak ketinggalan Mustofa W Hasyim yang menambah segar suasana melalui puisi Pesan Si Kodok Sakti dari Merapi - nya. (*)
Pendidikan Sastra & Budaya
Aku Yang HilangPuisi:Khusnul Khotimah
Siapakah yang sekarang ada di sana
merenung di bawah bulan merindu
sementara aku tak dapat
melihat cahaya di lorong-lorong sunyi
gelap ini
Mataku bisa melihat
tapi bibirku tak dapat berkata-kata
sungguh aku tak tahu
apa yang telah hilang dari diriku
Klas: XI IPA SMAN 1 Sukagumiwang – Indramayu
Hidup Puisi: Taskinih
Perjalanan ini bagai angin
yang menerpa dedaunan
kadang mengejutkan dan
kadang menyejukkan
Seperti kita yang kerap lalai
dan menusukkan pedang
ke tubuh sendiri
lalu tersenyum kecut
Perasaan hati yang tak tenang
bagai ombak bergulung-gulung
riuh menerjang pantai
lalu kembali menyurut ke tengah
bingung
Seperti itukah hidup
Klas: XI. A. 1 SMAN 1 Tukdana – Indramayu
Tinjauan Puisi:
Hidup dan Aku Yang Hilang
oleh: Acep Syahril
Sampai hari ini keberadaan sastra masih dianggap hal yang tidak penting, ketika sastra oleh para pendidik diidentikkan dengan puisi. Sementara puisi mereka klaim sebagai dunia permenungan yang lebih mentelantarkan waktu, tidak menghasilkan apa-apa selain kata-kata dan sia-sia. Apalagi ketika sastra disandingkan dengan pendidikkan yang berupaya membangun manusia trampil yang cepat dapat kerja. Maka keberadaan sastra semakin dianggap sebagai penghambat pemikiran seseorang untuk berfikir maju dan berkembang demi mendapatkan pekerjaan. Pekerjaan yang lebih mengandalkan keterampilan serta fisik yang digerakkan oleh pengalaman dan pengetahuan tekhnik baku yang kaku.
Keringnya pengetahuan, pengalaman dan perkembangan dunia di luar diri mereka membuat mereka tidak lebih dari robot-robot yang harus tunduk pada aturan kapitalis untuk menaikkan kuantitas produksi sebuah industri.
Sementara mereka lupa kalau sastra bukanlah alat yang akan menjerat pemikiran seseorang menjadi pelamun, sebagaimana “dikhawatirkan” para pendidik yang mengasumsikan sastra sebagai puisi. Dan pembuat puisi diidentikkan sebagai pelamun karena penulisannya dilakukan melalui dunia permenungan.
Padahal sudah jelas kalau karya-karya sastra adalah bentuk karya seni yang dilahirkan lewat pemakaian bahasa dan kata-kata dengan kandungan yang bersifat artistik dan bermakna tinggi. Dimana ketinggian nilai-nilai yang terkandung di dalamnya diperoleh dari bacaan berbagai sumber pengetahuan atau literature, selain pengalaman empirik serta peran imajinasi yang membuat karya sastra tersebut menjadi lebih hidup.
Jelasnya sastra atau kesusteraan adalah dunia membaca yang mampu memberi rangsangan fikir (intelektual) dan rasa seseorang untuk meningkatkan nilai-nilai, baik pada karya yang dia lahirkan mau pun nilai pada dirinya sebagai makhluk sosial. Karena melalui pengalaman membaca berbagai sumber pengetahuan tidak hanya kaya pengalaman tapi juga mampu meningkatkan kreatifitas dunia kerja seseorang.
Jadi melalui kegiatan apresiasi sastra yang membicarakan puisi, cerpen, novel atau karya-karya sastra sejenis, bukan berarti akan mencetak anak didik untuk menjadi penyair, novelis atau apapun. Tapi lebih pada menggiring mereka untuk tertarik pada dunia membaca, karena dengan membaca maka mereka akan lebih banyak tahu dunia.
Seperti Khusnul Khotimah dari SMAN 1 Sukagumiwang yang bertanya-tanya tentang dirinya yang hilang, kejujuran yang dia paparkan secara plastis melalui puisinya berjudul Aku Yang Hilang.
Mataku bisa melihat
tapi bibirku tak dapat berkata-kata
sungguh aku tak tahu
apa yang telah hilang dari diriku
Sebagai pertanyaan yang semestinya juga menjadi bahan renungan bersama, ketika kata aku disana menjadi aku lirik yang berarti aku kau, aku kamu dan aku kita. Atau apa yang telah hilang dari diriku, dirimu, diri kau dan diri kita? sementara aku tak dapat, melihat cahaya di lorong-lorong sunyi, gelap ini.
Sebuah pernyataan internal cukup dalam untuk memaparkan keberadaannya yang lemah, kurang dan alfa untuk mengenal lebih dekat dengan Sang Khaliq. Sehingga selain sulit meraba, merasakan atau melihat latifa-latifa (lorong-lorong hati) dalam dirinya, dia juga tak mampu mengungkapkan dengan kata-kata atas segala kebesaran yang telah didedahkan Sang Khaliq di sekitarnya.
Sementara Taskinih, dari SMAN 1 Tukdana baru mempertanyakan sebagian kecil dari siratan hidup, yang dalam hal ini lebih ditegaskan sebagai sampiran, dengan mengilustrasikan hidup sebagai perjalanan dan perjalanan ini bagai angin, yang menerpa dedaunan, kadang mengejutkan dan, kadang menyejukkan. Seperti halnya kita yang kerap lalai, dan menusukkan pedang, ke tubuh sendiri, lalu tersenyum kecut. Kadang perasaan hati yang tak tenang, bagai ombak bergulung-gulung, riuh menerjang pantai, lalu kembali menyurut ke tengah, bingung. Hal ini kemudian jadi pertanyaan Taskinih. Seperti itukah hidup?
Sebagaimana halnya para pemikir ahli agama, filsuf serta pemikir-pemikir sebelumnya, mereka masih saja belum menemukan jawaban yang pas untuk menjabarkan tentang hidup. Karena manusia adalah makhluk istimewa ciptaaan Allah yang bisa menjadi subjek sekaligus objek di dalamnya. Sehingga dari persoalan ini timbul pertanyaan abadi tentang manusia yang sampai sekarang tak terjawab tuntas, yakni: dari mana, mau kemana, dan untuk apa manusia hidup di muka bumi ini (Dr. Achmad Mubarok, M.A: Sunatullah Dalam Jiwa Manusia).