Rabu, 23 Februari 2011

Pendidikan Sastra dan Budaya

SINAR PAGI  Edisi 23 Februari - 1 Maret 2011        

Kekasih Yang Setia                            Puisi: Lusi Eka Juniana  
Kasih ku tak ingin berpisah darimu
ku tak ingin meninggalkanmu
kuingin kau selalu menemaniku
dan temani aku hingga akhir hayat nanti
Kasihku jangan kau lari dari pelukanku
tak akan kurelakan kau berpaling dariku
Kasihku tak kuhapus kau dari hatiku
tak akan kulupakan dari otakku
semoga cinta ini abadi selamanya

Kelas VII B - SMPN  1 Lelea, Indramayu

Kentut                                Puisi: Ardiyanto
Oh kentut
bunyimu brat brut
kalau ditahan bisa sakit perut
Oh kentut
wujudmu seperti kabut
kalau dikeluarkan bikin orang ribut
Kls: VII D SPAN 1 Juntinyuat, Indramayu

Bencana                            Puisi: Nurnaeni

langit kelabu, senyum beku ketika
bencana datang menerjang.
gunung-gunung serasa runtuh
samudera serasa di tumpah
tanah bagai terbelah
inikah ujian Illahi.
hingga alam murka,
karena tingkahmu kah

SMA N 1 Sukagumiwang, Indramayu

Dirimu                                             Puisi: Haryati
Dari kamu aku mengenal kebahagiaan
dari kamu pula aku mengenal arti cinta
dan dari kamu aku mengenal tentang
diriku yang sesungguhnya
Tapi aku tau Tuhan
apa yang sudah Engkau takdirkan
tidak mungkin akan aku lawan
aku hanya ingin bersama dia
dia yang selama ini aku cinta

Kls: XI SOS 3 SMAN 2 Indramayu
  
Aku Ingin                                         Puisi: Wihda Ilmi Afdilla
Aku ingin saat kau ada
akupun ada
saat kau tiada
aku tetap ada
setia meniti air mata
dengan cinta yang tak tersapa
Aku ingin saat kau ada
akupun ada
menemani jejak langkah yang tiada
hingga menjadikannya ada

Kls: XI IPA 3 SMAN 2 Indramayu

Tinjauan Puisi:
Pesona Kata-Kata

oleh: Acep Syahril

Lalu pagi itu untuk entah yang kesekian kalinya aku kembali mendatangi SMPN 1 Juntinyuat, dan pagi berikutnya ke SMPN 1 Lelea – Indramayu. Kedua Kepala Sekolah (Swardi, S.Pd dan Abdul Manaf, S.Pd)  ini aku kira cukup baik menerima kehadiranku dengan penampilan apa adanya. Sebab dari bahasa sambutannya kujabarkan mereka sangat membutuhkan adanya apresian dari luar terhadap apa yang mereka ajarkan kepada murid-muridnya selama ini. Sungguh suatu respon menarik seperti sejumlah sekolah lain yang pernah kudatangi.
Dan dari kedua sekolah tadi aku berhasil mengumpulkan 21 puisi dari SMPN 1 Juntinyuat dan 23 dari SMPN 1 Lelea. Dari ke 43 puisi itu aku hanya mendapatkan beberapa puisi saja yang menurutku cukup menarik untuk dibicarakan, yang ditulis para siswa dalam waktu pendek yang melahirkan pesona kata-kata. Seperti Lusi Eka Juniana dengan puisi Kekasih Yang Setia, dan Ardiyanto yang Kentut. Serta Nurnaeni dari SMAN 1 Sukagumiwang, Haryati dan Wihda Ilmi Afdilla dari SMAN 2 Indramayu.
Meski dari ke lima puisi di atas memiliki bahasa ungkap yang nyaris sama namun memiliki kedalaman makna yang berbeda, seperti puisi “kentut” karya Ardiyanto dari SMPN 1 Juntinyuat misalnya. Puisi yang ditulis Ardiyanto ini setidaknya kembali mengingatkan kita pada tahun 70-an saat-saat ngpopnya Puisi Mbeling. Yang ditandai sebagai fenomena menarik dan sempat memberi warna baru bagi sejarah sastra modern di tanah air waktu itu. Meski kemudian keberadaannya tidak bertahan lama, namun Puisi Mbeling waktu itu menjadi sebuah seni kitsch yang ngepop dan ngetrend. Bagaimana tidak? Baca saja puisi Ardiyanto ini:
Kentut                                 
Oh kentut
bunyimu brat brut
kalau ditahan bisa sakit perut
Oh kentut
wujudmu seperti kabut
kalau dikeluarkan bikin orang ribut
Ardiyanto seenak dan sekenanya saja menulis persoalan kentut tadi dengan bahasa konvensional yang realis dan nakal serta memiliki keunikan makna sosial yang kuat di dalamnya. Yang secara psikologis dapat disimpulkan bagaimana kepekaan dia dalam menangkap fenomena yang ada pada diri serta lingkungannya.
Oleh Sapardi Djoko Damono pada esainya tentang “Puisi Mbeling: Suatu usaha pembebasan” ini, dikatakan bahwa istilah mbeling kurang lebih berarti nakal, kurang ajar, sukar diatur, dan suka berontak, (Bahasa dan Sastra, tahun IV No.3/1978, Pusat Pengembangan dan Pengembangan Bahasa Depdikbud).
Sementara Lusi Eka Juniana dan Wihda Ilmi Afdilla dalam puisinya Kekasih Yang Setia dan Aku Ingin, nyaris memiliki esensi yang sama meski dalam penyampaiannya ada perbedaan yang jauh. Seperti Lusi misalnya, secara umum bahasa dalam puisinya sangat mudah untuk dipahami, namun secara esensial pembaca bisa dibawa pada dua pertanyaan mendasar. Soalnya kata kekasih disitu sebagai kata ganti pacar atau Tuhan. Sebab kalau dikatakan kekasih yang dimaksud Lusi ini pacar, disitu ada kalimat abadi yang dihidupkan: /kuingin kau selalu menemaniku/dan temani aku hingga akhir hayat nanti//.
Tapi disi lain Lusi juga menuliskan //Kasihku jangan kau lari dari pelukanku/tak akan kurelakan kau berpaling dariku//.
Hal yang sama juga terjadi pada puisi Aku Ingin, karya Wihda Ilmi Afdilla. Bedanya bahasa konvensional yang digunakan Wihda di sini terkesan sekali filosofinya, yang seolah menggiring pembaca untuk manjabarkannya lebih leluasa.
Aku ingin saat kau ada
akupun ada
menemani jejak langkah yang tiada
hingga menjadikannya ada
Sedangkan dua puisi lainnya Bencana, karya Nurnaeni dan Dirimu karya Haryati, adalah dua puisi dengan tema, persoalan dan kegelisahan yang berbdeda. Kegelisahan di luar diri Nuraeni disitu amat terasa ketika dia mengimpresikan bencana alam yang ditandai dengan gunung-gunung serasa runtuh, samudera serasa di tumpah dan tanah bagai terbelah.
Sementara Haryati lebih dengan kegelisahan dirinya terhadap orang lain, yang dalam hal ini adalah pacar atau kekasih yang selama ini pernah singgah di hatinya, yang kemudian semua itu dia kembalikan kepada Sang Khaliq.
Tapi aku tau Tuhan
apa yang sudah Engkau takdirkan
tidak mungkin akan aku lawan
aku hanya ingin bersama dia
dia yang selama ini aku cinta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar