Rabu, 23 Maret 2011

Pendidikan Sastra dan Budaya



SINAR PAGI, Tahun 40, Edisi 6 - 12 April 2011



Puisi Dari Kepak Angsa Putih
(Antologi Puisi Mahasiswa FBS Universitas Jambi) 

oleh: Acep Syahril*

Jambi, Setengah kilo gram gula batu, satu pak kecil Teh Cap Tang dan sederet cerita budaya kusodorkan ke Mang Alloy. Kedatanganku ke rumah kerjanya selain mengantar pesanannya tadi, aku juga sengaja ingin tau produk baru penyair di kota ini. Sebab sejak 18 tahun lalu Mang Alloy sudah dipercaya oleh teman-teman penyair untuk membidani penerbitan buku-buku sastra, khususnya urusan editing, mengolah cover sekaligus penggandaannya.
Lalu pagi itu dari tangannya kuterima sebuah buku kumpulan puisi dengan tampilan lux bertitel “Kepak Angsa Putih” (KAP), terbitan Bengkel Puisi Swadaya Mandiri Jambi. Antologi puisi mahasiswa Fakultas Kejuruan Ilmu Pendidikan (FKIP) jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Negri Jambi (Unja), yang ditulis 28 mahasiswa semester IV angkatan 2009. Berisi 142 Puisi dengan pengantar Dr.Sudaryono,M.Pd, sebagai dosen pengampu matakuliah penulisan puisi.
Dalam pengantarnya Sudaryono atau Dimas Arika Mihardja menuliskan, bahwa “angsa putih bagi komunitas sastra merupakan simbolisasi cinta, romantika, petualangan, kesetiaan, keanggunan, keyakinan, kesucian dan lainnya. Puisi yang dihasilkan oleh penggubahnya dan dimuat dalam buku ini secara metaforis serupa dengan angsa putih yang tak letih meniti buih kehidupan penuh kerinduan dan keharuan”.
Dan aku tak tau buku yang ada di tanganku pagi itu entah terbitan keberapa dari banyak buku sastra yang dikerjakan Mang Alloy selama ini. Sementara membaca 142 puisi yang terselip di di dalamnya, aku jadi teringat puisi-puisi siswa SMP dan SMA yang hampir setiap minggunya ku kumpulkan dari tiap sekolah yang kudatangi seusai kegiatan apresiasi.
Di situ aku selalu membawa pulang berikat-ikat puisi cinta, patah hati, harapan, ayah ibu,  protes sosial, ketuhanan, lingkungan dan atau yang bercerita soal alam, pagi malam dan petang. Mereka menuliskannya dalam bahasa verbal konvensional nyaris tanpa perenungan dan kering wawasan, namun jika dibaca ulang berulang kadang jadi menarik. Aku seolah sedang belajar dari kepolosan dan kejujuran mereka.
Hal itu juga kurasakan dari kesetiaan Sudaryono atau Dimas Arika Mihardja yang bertahun-tahun dengan ketelatenannya mengasuh dan mendidik mahasiswanya soal kesetiaan pada hidup, keyakinan, kepekaan serta fikiran-fikiran kritis melalui media penulisan puisi ini.
Seperti dituliskan Nur Juliana pada puisinya “PILKABA (Pemilihan Kepala Rimba) atau Gambaran Pilkada Indonesia ” (KAP, Hal: 94), yang dituliskannya secara verbal itu paling tidak bisa jadi pelajaran bagi para politisi yang sok sosialis dan moralis.
Ular dari Partai Damai Istirahat
sampaikan misi tak tidur sebelum rakyat makmur
ah ngota
nyatanya habis makan molor
tutup mata lihat kasus century
ngantuk dengar cerita TKI
atau
Singa dari Partai Kenyang Selalu
teriakkan janji dijamin rakyat gemuk
alah tu kan katamu
buktinya pasokan sembako ludes kau grogoti
senyum sumringah lihat tangis pengemis
terbahak saksika busung lapar
Sementara Putri Rahayu melalui kamera imajinasinya memotret berbagai peristiwa yang terjadi di daerahnya, Jambi. Suatu permasalahan sosial beruntun yang dia rekam dan dia tuliskan dengan satu tarikan nafas. //konstitusi dilelang/angso duo ramai/sepanjang kota baru – arizona/berlari menentang jarum jam//   //sedang telanai/sibuk melahirkan cendekiawan/’tukbertemu leninisme//. (Puisi: Tayangan Kecil Negriku, KAP, Hal.108).
Rahayu dalam KAP ini boleh dibilang salah satu calon penyair berbakat, melalui kekuatan imajeri visualnya dia mampu mengekspresikan permasalahan dibalik tembok gedung yang berlatar belakang sosial politik itu secara hiperbol. Permasalahan para pemimpin dalam mengambil keputusan dan kebijakan yang hanya melahirkan kekecewaan di hati masyarakat. Atau telanaipura yang sejak lama dipersiapkan demi kelahiran para cendikia yang diharapkan mampu membagun daerah serta berpihak pada masyarakatnya. Tapi sayang mereka lupa jalan pulang, sebaliknya menjemput faham lain demi kepentingan pribadi dan kelompoknya. Begitu kata Rahayu.
Namun ada yang lebih menarik dan lebih berbakat, yakni Randa Gusmora dengan Sajak Terang Bulan Di Mendalo Yang Hilang (KAP, Hal. 121). Meski pada gayanya sedikit berbau Gunawan Muhammad, tapi sebagai langkah pencarian hal ini sangat menarik. Karena penulisan puisi tidak cukup hanya dengan mengandalkan kekuatan inspirasi, kepekaan insting atau beretorika dengan kata-kata. Tidak. Semuanya harus dimulai dengan membaca, mencari dan meraba untuk menawarkan dunia baru pada pembacanya dengan berbagai pengalaman, atau melalui proses kognitif yang mampu mengkomparasi persoalan menjadi sebuah luapan yang berisi: //emosi ini berperan di waktu pikiran buyar/sajakku hilang//.
Sehingga dunia kata-kata yang dibangun berdasarkan imajeri visual serta kekuatan konstruksi jiwa penyairnya, bisa menawarkan aktifitas baru kedalaman otak pembaca, seperti: //dimana bulan sejengkal dari atas/hadir lebih awal sebelum natal//.
Selain Nur Juliana, Putri Rahayu, Randa Gusmora, ditemukan juga Syukria. Sementara Ummi Kalsum tengah belajar konsisten dengan gayanya yang sederhana. Pemula satu ini sepertinya benar-benar menawarkan sesuatu yang utuh, yang belum tampak pada rekan--rekannya yang lain. Sebuah tawaran menarik dari pemikiran jernih dan dingin seperti ungkapan-ungkapan lirisnya yang penuh dan berisi.

Ibu

Karena rindu pada bijakmu
Tiap saat kusunting do’a dari nadiku
Senyummu yang mempesona lewat bingkai usang
Membuat hulu dan muaraku menyatu di taman syurga
Tertirahlah yang damai disi-Nya

(KAP, Hal. 148)
Ow..ow, manis dan padat sekali do’a ini. Kerinduan dan do’a untuk sosok ibu dari senyum mustajabnya di bingkai yang usang. Do’a yang setiap malam dan siang mengalir dari ruang-ruang latifa paling dalam. Ibu “tertirahlah yang damai disisi-Nya”.
Kata-kata pilihan yang sederhana dengan personifikasi yang lebih sederhana pula, begitu ke lima puisi yang disajikan Ummi Kalsum di KAP ini. Meski untuk sementara ide dan tema yang ditawarkannya masih berkisar diseputar persoalan keseharian serta persoalan batin. Tapi dari kesederhanaanya itu ada konsistensi yang berbeda dari yang lainnya.   

*Acep Syahril: Tinggal di Blok Senerang Rt.06/02 Desa Sudikampiran
                         Kec. Sliyeg, Indramayu – Jawa Barat


Pondokku                                  Puisi: Alfina Uswatun Khasanah (Viona)


Inilah penjara suci yang menaungiku.
memberikan kesejukan dan ketenangan
pada hatiku.
tempatku menemukan jati diri.
tempatku menggali ilmu.
tempatku memperdalam iman dan taqwa
dan tempatku menemukan jalan.
untuk menuju Sang Ilahi.

Walau hanya sekejap,
tapi begitu hidup di hatiku.
sampai kapanpun aku tak melupakanmu
karena di tempat inilah aku bisa seperti ini.

Klas X B, Madrasah Aliyah (MA)
Ponpes Candangpinggan, Indramayu


Maafkan Aku                                         Puisi: Abdurohim

Dulu
semua orang terpesona dengan senyuamnnya
dulu
daun dan rumputan bergoyang
melihat keceriaannya
awan pun ikut tersenyum

Kini
semua orang bingung
dengan air mata yang meluncur di pipinya

daun dan rumputan diam bisu
dengan kesedihannya
awan berubah mendung halangi
matahari

Aku yang menyebabkan semua ini
cuma terdiam bisu
dan bingung

Tuuhan
berdosakah hamba
kumohon pada-Mu
maafkanlah aku


Klas X B, Madrasah Aliyah (MA)
Ponpes Candangpinggan, Indramayu

Tinjauan Puisi

Kejujuran Dalam Puisi

oleh: Acep Syahril

Istilah “penjara suci” bagi santri santriwan dan santriwati yang belajar di pondok pesantren Indonesia sudah bukan hal baru. Mereka menyebut istilah tersebut selain sebagai ungkapan kekecewaan atas keberadaan mereka yang terkungkung oleh tradisi yang berlaku di pondok-pondok pesantren ini. Juga sebagai ungkapan hiperbol yang menyatakan bahwa mereka tidak bisa menghirup udara bebas seperti anak-anak sekolahan pada umumnya. Hal ini kecuali karena tradisi pondok pesantren yang memberlakukan aturan seperti itu yang sebagian besar mengacu pada ketentuan ajaran Islam. Pondok pesantren juga bertujuan membentuk mental spiritual para santrinya dengan terlebih dahulu mempersiapkan sarana prasarana yang dibutuhkan. Inilah yang kemudian terkesan bahwa mereka tengah berada di suatu penjara suci.   
Dan saat saya berkunjung melakukan apresiasi sastra di Madrasah Aliyah (MA) Pondok Pesantren Candangpinggan Indramayu, saya berhasil mengumpulkan 19 puisi yang ditulis para santrinya, meski yang hadir pada saat apresiasi lebih dari itu. Dan dari 19 puisi yang mereka tulis saya Cuma berhasil memilih dua puisi yang saya anggap menarik untuk dibicarakan di rubrik sastra kali ini.
Satu, puisi dari Alfina Uswatun Khasanah (Viona), dengan berjudul “Pondokku” dan satunya lagi dari Abdurohim, dengan puisinya “Maafkan Aku”. Kedua puisi ini meliliki ide serta tema yang berbeda, namun dari keduanya tetap menghadirkan idiom ke Tuhanan sebagaimana posisi mereka yang saat ini tengah menimba ilmu di pondok pesantren. Alfina Uswatun Khasanah atau Viona menuliskan pengalaman batinya begini: //Inilah penjara suci yang menaungiku./memberikan kesejukan dan ketenangan/pada hatiku./.....
Sebagai ungkapan miris namun memberi makna lebih pada keberadaan pondok pesantren tempatnya belajar saat ini. Artinya istilah penjara suci di sini secara tidak langsung sudah bisa dipahami, kalau sebutan tersebut tidak lebih dari istilah tanpa keinginan macam-macam untuk dimekrkan lebih jauh pengertiannya.
Apalagi ungkapan penjara suci tadi dituangkan dalam bentuk puisi, yang berasal dari dunia batin penggubahnya. Jelas disitu ada nilai-nilai kejujuran yang sulit diukur persentasenya, sehingga apa apa yang dituangkan Viona di sini adalah bagian dari spontanitas yang tersirat di lubuk hatinya paling dalam:
...............................
tempatku menemukan jati diri.
tempatku menggali ilmu.
tempatku memperdalam iman dan taqwa
dan tempatku menemukan jalan.
untuk menuju Sang Ilahi.
................................
sampai kapanpun aku tak melupakanmu
karena di tempat inilah aku bisa aseperti ini.

Sementara Abdurohim dari kelas yang sama (X B) juga memuarakan kejujurannya, kalau dia telah melakukan kesalahan pada seseorang. Seseorang yang dalam hal ini dia ilustrasikan lebih sebagai lawan jenisnya. Itu dapat disimak pada gaya personifikasi yang dia tuturkan: //Dulu/semua orang terpesona dengan senyuamnnya/dulu/daun dan rumputan bergoyang/melihat keceriaannya/awan pun ikut tersenyum//Kini/semua orang bingung/ dengan air mata yang meluncur di pipinya//.
Pada tataran hati nurani, apa pun yang menjadi persoalan dan ganjalan ketika hal tersebut hendak dituangkan dalam bentuk puisi, semuanya tidak akan terlontarkan secara “verbal” dan mentah sebagaimana yang kita rasakan sesungguhnya. Karena saat proses penulisan puisi berlangsung, seluruh perangkat rasa yang ada dalam diri penggubahnya ikut berperan termasuk perasaan estetika yang berfungsi menyaring persoalan-persoalan tadi menjadi lebih halus.
daun dan rumputan diam bisu
dengan kesedihannya
awan berubah mendung halangi
matahari

Aku yang menyebabkan semua ini
cuma terdiam bisu
dan bingung


SINAR PAGI, Tahun 40, Edisi 30 Maret - 5 April 2011
 
Bunga Anggrek                                                 Puisi: Rahma Nita Nur
Di Halaman Belakang                                    

Bunga anggrek
bagusnya warnamu
kusenang ketika melihat engkau
 
Engkau tumbuh di batang pohonan
akarmu merambat kemana-mana
memanjang meliuk melingkar
seperti ular

Akarmu kecil-kecil
menyerabut imut-imut
membuatku senang menyiramimu
wahai bunga

aku suka kepadamu bunga anggrek
aku merawatmu mulai kecil
sampai engkau mati
aku mencintaimu bunga anggrek

Klas: V SDN III Jayalaksana,
Kedokanbunder – Indramayu


Pohon                                                        Puisi: Italoka                                      

Wahai pohon yang rimbun
aku sangat berterima kasih
kepadamu karena dunia
ini menjadi hijau dan sejuk

Karena kau selalu menyejuk
kanku kaulah sang penyejuk
hati kau membawa perdamaian
kau sangat berguna bagi orang

Hidup ini terasa sangat berharga
kau membawa embun yang bisa
menyejukkanku

Jika tidak ada kau
pasti semua orang tidak akan nyaman
karena kau sangat berguna

Klas: V SDN III Jayalaksana,
Kedokanbunder – Indramayu

Kembang Penari                                            Puisi: Reghina Chika Dyatama

Paras nan jelita bak bintang
alunan gamelan mendayu syahdu
mengalir sejiwa mengiring senja
liuk tubuh penuh makna
terbang kuasai alam rasa

Keindahan itu tak terkata
karena budaya sarat makna
bisakah kita nikmati
dari mata lalu ke hati

Klas: VI SDN III Margadadi – Indramayu

Orang Tua                                             Puisi: Putri Salisa Maulida

Ayah….Ibu
Kalian adalah sosok teladan
yang menyayangiku sepenuh hati

Ayah
Kau bekerja membanting tulang
demi aku
tak peduli siang atau pun malam

Ibu
Kau merawatku sepenuh kasih sayang
menjagaku dari kecil hingga sekarang

Ayah….Ibu
maafkan aku
sering aku tak menuruti nasehat Kalian

Aku tau
jika aku salah kalian marah
aku tau
aku hanya bisa tertunduk dan menangis

Karena kalian ingin
agar aku menjadi orang berguna

Ayah….Ibu
maaf kan aku
terimakasih
tanpa jasa Kalian aku tak mungkin
seperti ini
maafkan aku
aku sayang Kalian

Klas: VI SDN III Margadadi – Indramayu


Bunga Anggrek Kembag Penari
Sebuah Eksplorasi

oleh: Acep Syahril

Sampai hari ini aku masih terus bepergian keluar kota, dan menyempatkan diri mengunjungi objek wisata, keindahan alam serta aktifitas manusianya yang kuanggap unik yang tidak ada di daerah tempat tinggalku. Pengalaman perjalanan ini selain menyenangkan juga seringkali membuatku terkagum-kagum atas segala yang kulihat dan kuamati.
Dari mulai melihat, menikmati dan mengamati tadi, tidak jarang aku merasakan munculnya getaran rasa yang lain dari dalam diriku. Bukan hanya kagum dan takjub tapi juga mampu menggerakkan perasaan esetetis. Perasaan estetis di sini adalah kepekaan rasa yang sifatnya sangat sensitive, dan kemunculan perasaan estetis tadi karena dihantar oleh pandangan mata pada suatu objek yang dinilai indah.
Nah dari perasaan esetetis inilah kemudian aku tergerak untuk menuliskan sesuatu yang berhubungan dengan apa yang aku lihat. Misalnya saja seperti para petani murbei dan pemetik ulat sutra di Kabupaten Wajo Sulawesi Selatan. Sungguh, sebelumnya aku tidak pernah melihat aktifitas petani pemetik ulat sutra seperti ini, kecuali pemetik daun teh. Bagiku aktifitas mereka kukatakan unik dan menarik, serta memiliki nilai apresiasi tersendiri bagiku.
Seperti juga kalian yang memiliki nilai apresiasi terhadap suatu objek di tiap lingkungan sekolah kalian, sebagaimana dilukiskan Rahma Nita Nur dan Italoka dari SDN III Jayalaksana, Kedokanbunder – Indramayu. Nita dengan kejeliannya berusaha mengekspresikan bagaimana anggrek mempertahankan hidup serta menampilkan keanggunan bunga yang dihasilkannya. 
Engkau tumbuh di batang pohonan
akarmu merambat kemana-mana
memanjang meliuk melingkar
seperti ular
Dengan gaya bahasa personifikasi yang sederhana, Nita merasa lebih leluasa untuk mengekspresikan kekagumannya: //Akarmu kecil-kecil/menyerabut imut-imut/membuatku senang menyiramimu/wahai bunga//.
Lain halnya Italoka yang memuji pohon secara bijak, karena dirinya telah diberi kenyamanan oleh rindangnya daun pohonan tempat bertiupnya angin. Serta akar yang mampu menyerap air sehingga tidak terjadi banjir.
jika tidak ada kau
pasti semua orang tidak akan nyaman
Sementara Reghina Chika Dyatama dan Putri Salisa Maulida dari SDN III Margadadi – Indramayu lebih mengarahkan kekagumannya pada manusia. Seperti puisi Kembang Penari karya Reghina, dia dengan sedikit kata mampu mengekspresikan perasaan estetisnya pada keindahan objek yang bernama penari itu. //Paras nan jelita bak bintang/alunan gamelan mendayu syahdu/mengalir sejiwa mengiring senja/liuk tubuh penuh makna/terbang kuasai alam rasa//.
Reghina tidak puas sampai disitu, sebab penari topeng yang telah membuatnya tersihir itu juga mampu menggerakkan intelektualnya untuk mengingatkan pada banyak orang. Karena keunikan dan keindahan gerak liuk tari topeng menurutnya tidak bisa diucapkan dengan kata-kata, dia bisa dinikmati dari pandangan mata lalu dihayati maka filosofinya dan disimpan dalam hati. Soalnya tari topeng disini bukan hanya gerak tapi juga sebagai symbol budaya local yang harus dirawat, dikembangkan dan diapresiasi.
Keindahan itu tak terkata
karena budaya sarat makna
bisakah kita nikmati
dari mata lalu ke hati
Sedangkan Putri Salisa Maulida lebih memilih objek tentang dirinya, dan bahasa yang digunakan Putri memang agak berbeda dengan tiga teman lainnya. Putri lebih memilih bahasa konvensional yang samat sangat mudah untuk dipahami. Namun memiliki pesan yang sangat berarti bagi pembaca.
Gaya aku lirik Putri ini jadi lebih terasa pada banyak orang, sehingga banyak orang tadi ikut merasakan, betapa sangat berartinya orang tua bagi kita.
Ayah….Ibu
maaf kan aku
terimakasih
tanpa jasa Kalian aku tak mungkin
seperti ini
maafkan aku
aku sayang Kalian

 

SINAR PAGI, Tahun 40, Edisi 23 – 29 Maret 2011

Mimpi                                                           Puisi: Faroni

Satu bayangan dalam kalbu
terucap kata menggores pilu
angan mimpi sebongkah kayu rapuh
terhapus terkena angina lalu

Mimpi
mimpi hanyalah bayangan mati
mimpi kini menjadi ratapan kaki
mimpi hanya perangkat mimpi
mimpi….mimpi…hanya….mimpi

Klas: XII MOS, SMK NU Kaplongan, Indramayu

Jeritan Rakyat                                         Puisi: Kastomo

Penguasa perkasa
rakyatmu yang jelata
selalu menjadi alat bagimu

Kau
yang berkuasa
jangan rendahkan rakyatmu
tanpa mereka kau tidak akan
menjadi apa-apa

Hai penguasa
perhatikan…..!
lindungi dan dengarlah
jeritan rakyatmu

Klas: XII TKJ 3, SMK NU Kaplongan, Indramayu

Kasih Sepanjang Masa                         Puisi: Syaeful Bahri

Ibu…..
dari air susumu
tumbuh daging di tubuhku                                                 
dari air matamu
tumbuh kasih sayang

Dari sentuhan lembutmu
lahir sifatku      
dari ciumanmu
tumbuh rasa kasih saying

Ibu….
kau mutiara dalam hatiku
kau mentari dalam dadaku
kau bintang dalam hidupku
kau hidup dan matiku

Klas: XII TKJ 1, SMK NU Kaplongan, Indramayu

Khayalku                Puisi: Sherina

Hari ini….
aku menunduk mengenangmu
membayangkan kamu denga air mataku
Hari ini….
aku lemas tanpa aura di jiwaku
menutup mata tuk sejenak menggenggam
tanganmu
Hari ini….
kubercita-cita untuk memelukmu
aku tahu aku bukan pemilik hatimu
Tapi……..
Kamu hidup dalam khayalku dan hatiku
Hari ini….
Nanti……
Dan seterusnya
Kamu tetap aura hidupku

Klas: XII TKJ 2, SMK NU Kaplongan, Indramayu

Tinjauan Puisi

Seikat Puisi
Dari SMK NU Kaplongan

oleh: Acep Syahril

Saya tidak pernah mengira kalau suatu saat nanti saya bisa menulis seperti sekarang, dan saya juga tidak pernah mengira kalau kata-kata yang saya susun kemudian menjadi sebuah tulisan features, puisi, esai, artikel, cerpen atau berita. Yang jelas awalnya saya tidak pernah membayangkan bisa melakukan semua itu, apalagi pendidikan saya hanya tamat SMP. Dan bagi saya pekerjaan menulis ketika pertama mengenal profesi yang satu ini, tidak mungkin saya bisa melakukannya.
Tapi kemudian apa yang saya bayangkan tentang segala kesulitan dan ketidak mungkinan untuk melakukannya itu, tiba-tiba berubah seratus delapan puluh derajat. Ketika saya memulainya dengan membaca banyak buku, ketika saya menemukan banyak bacaan yang membakar fikiran sekaligus mendesak imajinasi saya untuk menuliskan sesuatu yang berhubungan dengan setiap apa yang saya lihat.
Seperti halnya Kastomo pada puisinya Jeritan Rakyat, kegelisahan akal, kegelisahan fikiran dan kegelisahan hati nuraninya tertuang di puisi itu:
Kau
yang berkuasa
jangan rendahkan rakyatmu
tanpa mereka kau tidak akan
menjadi apa-apa
Kegelisahan saat melihat ketidak adilan, kegelihasahan saat mendengar dan membaca ketidak jujuran serta kegelisahan saat kurangnya keberpihakan penguasa pada rakyatnya yang lemah. Itu dia paparkan secara gamblang dengan gaya pamplet dan bahasa konvensional yang semua orang dapat memahaminya.
Sementara Syaeful Bahri dengan lembut berusaha masuk ke kehidupan ibunya, ibu yang pernah melahirkan, menyusui dan membesarkannya dengan penuh kasih sayang.  //Ibu…../dari air susumu/tumbuh daging di tubuhku/dari air matamu/tumbuh kasih sayang//Dari sentuhan lembutmu/lahir sifatku……/ 
Ungkapan-ungkapan rahasia yang tak mungkin bisa dituliskan Syaeful begitu saja tanpa pendalaman rasa dan membaca, sehingga apa-apa yang diungkapkannya secara instrinsik sangat terasa nilai-nilai keluhuran di dalamnya. Dari nilai-nilai keluhuran seorang ibu itu kemudian Syaeful menggambarkannya secara hiperbol.
Ibu….
kau mutiara dalam hatiku
kau mentari dalam dadaku
kau bintang dalam hidupku
kau hidup dan matiku
Keinginan untuk menulis dan menuangkan desakan imajinasinya itu juga dapat kita baca pada puisi Faroni tentang Mimpi, dimana mimpi baginya menjadi hal yang musykil. Sebab dia sadar bahwa mimpi hanyalah bunga tidur, pengalaman bawah sadar yang melibatkan penglihatan, pendengaran, pikiran dan perasaan yang tak nyata. Dan secara oneirologi mimpi adalah gerakan mata cepat atau Rapid Eye Movement, dengan tingkatan pengaruh emosi berbeda pada setiap seorang yang mengalaminya.
Namun mimpi yang disuguhkan Faroni pada puisinya bukanlah mimpi saat dia tidur, melainkan mimpi sebagai kerangka angan-angan yang secara hiperbol menjadikannya pesimis sebelum cita-cita itu sampai diraihnya.
mimpi hanyalah bayangan mati
mimpi….mimpi…hanya….mimpi
Padahal mimpi untuk menjadi atau menginginkan sesuatu itu perlu, sebab itu akan merubah cara berfikir serta menjadikan kita semangat untuk melangkah lebh maju ke depan.
Dari puisi mimpi Faroni kita bisa belajar bagaimana cara memilih kata sehingga melahirkan irama dengan nilai puitika menarik. Sebab pada puisi tersebut Faroni hanya berasyik-asyik sendiri, dan kurang memperhatikan bentuk permainan kata yang memiliki nilai ganda. Baik pada padanan kata-katanya mau pun pada makna puisi secara keseluruhan.
Berbeda dengan Sherina yang menawarkan dualisme objek pada pembacanya, disitu dia menuturkannya secara aku lirik. /Aku menunduk mengenangmu/membayangkan kamu dengan air mataku/. Dari sini kita sudah bisa menerka siapa yang dimaksud Sherina, kalau bukan kekasihnya.
Tapi disisi lain dia juga bertutur //Kamu hidup dalam khayalku dan hatiku/Hari ini…./Nanti……/Dan seterusnya/Kamu tetap aura hidupku/. Siapa kamu yag dimaksudkan Sherina disini, masih pacarnyakah, atau Tuhan. Wallahua’lam, hanya dia yang menulkiskannya yang mengerti kepada siapa dia bertutur.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar