Senin, 01 November 2010

Pendidikan, Sastra & Budaya

SUARAMU                                    Puisi: Denok Septia Bharati

Suaramu merdu datang memanggil
tiada kata untuk menolak
tapi, apa daya badan ini
seperti kaku melangkah
untuk menghdapnya

Kelas: XII IPS 1
SMAN 1 Sindang - Indramayu


PERMATAKU                               Puisi: Wiranto

Ketika aku kehilanganmu
segenap alam semesta ini membantuku
untuk mencarimu  
senyum adalah candu
kau seperti permata hatiku
indah menyatu dalam jiwa dan hati

Kelas: XII IPS 1
SMAN 1 Sindang - Indramayu


Tinjauan Puisi
Tuhan Dan Puisi Yang Belum Selesai

oleh: Acep Syahril

Siang ini untuk pertama kalinya saya masuk dan diterima memberikan kegiatan ekstrakurikuler sastra di Kelas XII IPS 1 SMAN 1 Sindang Indramayu. Dan itu pun karena difasilitasi oleh rekan penyair Vut  Masruri yang kebetulan mengajar Bahasa Indonesia di sekolah tersebut. Dan di sekolah yang berstandar internasional ini juga saya tidak diherankan oleh sikap siswa siswinya yang ramah dan santun-santun itu, karena mereka benar-benar harus mematuhi segala apa yang menjadi aturan di sekolahnya, selain komunukiasi yang khas dengan bahasa inggrisnya yang lumayan enak di dengar.
Di hadapan 28 siswa yang mengikuti kegiatan hari itu saya benar-benar merasakan adanya respon yang luar biasa, dan saya harus belajar mematuhi aturan hidup selanjutnya seperti mereka mematuhi aturan yang berlaku di sekolahnya. Sebuah pembelajaran baru yang saya terima secara tidak langsung dari pengalaman hari itu, yakni bagaimana saya harus mematuhi aturan hidup yang tak tertulis ini bisa diterapkan dalam pergaulan luas sebagai makhluk social yang saling membutuhkan satu sama lain, saling menghormati dan menghargai.
Dua jam berhadapan dengan mereka saya seperti tengah berhadapan dengan manusia-manusia dewasa, calon-calon intelektual dengan berbagai pengalaman serta nuansa rasa yang tak dapat diterka begitu saja. Mereka tidak hanya bicara soal cinta atau gelisah memuncak dalam pencarian jati dirinya, tapi juga bicara soal Tuhan dalam konteks lain dengan kejujuran yang tak semua orang mau mengakuinya. Seperti pada puisi Denok Septia Bharati “Suaramu”.
Suaramu merdu datang memanggil
tiada kata untuk menolak
tapi, apa daya badan ini
seperti kaku melangkah
untuk menghdapnya

Secara structural puisi di atas memang masih jauh dari kurang untuk dikatakan sebagai puisi yang berhasil, namun dari gagasannya puisi ini paling tidak memiliki nilai ajar kepada pembacanya. Betapa kejujuran seseorang untuk mengatakan kalau dirinya malas dalam melakukan ibadah sebagai kewajiban dalam berkeyakinan, tentulah suatu hal yang riskan. Namun bukan berarti kejujuran ketidakpatuhannya terhadap aturan berkeyakinan ini baik.  Kejujuran di sini lebih dititik beratkan pada sikap seseorang untuk mengakui kekuarangannya. Sebab untuk menghadap Tuhan disini tidak ada kata tawar menawar, selain keharusan mematuhi aturan berkeyakinan sebagai makhluk ciptaan Nya serta rasa terima kasih kita kepada Nya yang telah memberikan segala sesuatunya di muka bumi ini, dengan datang menyembah kehadapan Nya ketika Suara (adzan) itu datang menghampiri kita.
Sementara Wiranto lebih jauh dan lebih dalam mengekspresikan Tuhan sebagai Parmata, yang dia tuliskan secara personifikasi, //kau seperti permata hatiku/indah dan menyatu dalam jiwa dan hati//, begitu kata Wiranto pada puisinya bertajuk “Permataku”.
Ketika aku kehilanganmu
segenap alam semesta ini membantuku
untuk mencarimu  
senyum adalah candu
kau seperti permata hatiku
indah menyatu dalam jiwa dan hati

Karena Wiranto sangat yakin Tuhan ada dimana-mana, tidak hanya di hati dan di dekat urat lehernya, tapi juga ada di lapangan dekat tiang bendera, di gunung, di rumah, di jalan atau di berbagai tempat yang senantiasa melihat, memandang sekaligus menyoroti segala tingkah manusia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar